My True Story


            Pengalaman pernah berobat ke dokter ini ,saya alami kurang lebih empat tahun yang lalu pada masa pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada suatu malam, saya merasa suhu badan saya sangat terasa panas berkisar 34°C. Pada malam itu saya sempat terkena flu dan batuk berdahak. Orang Tua saya merasa bahwa saya hanya terkena demam biasa dengan penyakit influenzha. Orang Tua saya langsung berinisiatif memberikan obat Paracetamol, Amoxicilin, dan beberapa multivitamin anak-anak.
            Tiga hari berlalu panasnya masih tetap tinggi hingga 39°C dengan rasa kaku pada setiap persendian, saya langsung segera pergi ke Puskesmas. Sambil menunggu nama saya dipanggil. Sesampai ke ruang periksa dokter, ketika saya masuk ia langsung memberikan salam dengan menanyakan bagaimana keadaaan keluarga saya, kemuadian ia menanyakan nama dan usia saya. Ia langsung melakukan anamnesis dan menanyakan segala bentuk keluhan saya dengan baik dan sopan. Ia menanyakan mulai dari makanan apa yang saya makan sebelumnya, sejak kapan saya mengalamai panas, apakah sudah minum obat sebelumnya, keluhan apa saja yang saya rasakan, saya pun menjawab segala pertanyaannya.
            Setelah melakukan anamnesis ia melakukan pemeriksaan dengan meminta izin terdahulu dan mempersilahkan saya untuk menaiki tempat tidur pemeriksaan dan memanggil seorang perawat dengan sangat sopan dan penuh rasa tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan penunjang menggunakan tensi pada lengan saya untuk memastikan bahwa adanya gejala demam berdarah pada diri saya dan hasilnya timbul bercak-bercak merah pada tangan saya. Setelah melakukan pemeriksaan Ia menyarankan saya untuk memberitahukan kepada Orang Tua saya agar saya dirujuk ke rumah sakit sambil menuliskan sebuah surat rujukan ke Rumah Sakit (RS) Undata.
            Namun, sesampainya saya ke Rumah Sakit. Saya mendapatkan pelayanan yang tidak cukup memuaskan, penuh penundaan untuk mereka yang belum memiliki ASKES. Kemudian Orang Tua saya menghubungi seorang dokter di RS itu untuk menanyakan bagaiman tindak lanjutnya dan dokter itu mengatakan agar saya dirawat jalan sambil memberikan resep obat, Akhirnya, saya bersama orang tua saya pergi ke Prodia untuk melakukan tes urin dan tes darah.
            Akhirnya membutuhkan tiga hari untuk menunggu hasilnya, selama menungu hasil dari Prodia. Saya diberikan jus jambu biji yang katanya dapat mengembalikan keadaan trombosit pada darah untuk mencegah tindak lanjut penyakit DBD. Pada saat saya mencoba untuk bangun dari tempat tidur, saya merasa kepala saya pening, dan hampir semua persendian saya terasa sangat kaku dan sulit untuk digerakkan namun, saya tetap memaksakan diri untuk berdiri.
            Ketika saya berhadapan didepan cermin saya melihat wajah dan badan saya tampak seperti bercak-bercak merah serta kulit saya tampak sangat merah, saya menyimpulkan bahwa sepertinya saya terkena penyakit sarampa.
            Akhirnya saya meminta air kelapa muda kepada orang tua saya. Selama saya dalam masa penyembuhan pada hari ke enam, hasil prodia pun muncul dan menyatakan saya tidak mengidap penyakit DBD, dengan data hasil urin dan darah normal.
            Banyak kemungkinan hal yang terjadi dari pengalaman pribadi saya berobat ke dokter ini, saya kurang tahu kenapa hasil diagnosa dokter tersebut sangat berbeda dengan hasil riset penelitian laboratorium, ataukah mungkin juga saya telah melewati fase kritis daripada penyakit DBD, dan mungkin juga penanganan lebih awal yang dilakukan oleh Orang Tua saya sudah tepat dengan memberikan asumsi makanan yang tepat dengan memberikan obat-obatan, multivitamin, serta buah-buahan dengan segala hal yang alami.
            Dari penilaian perilaku seorang dokter yang saya alami disini, seorang dokter memiliki penuh rasa tanggung jawab serta sangat professional menangani pasiennya. Terutama bagaimana cara berbicara  atau retorika antara sesama dokter dan interaksinya dengan institusi tempat dokter tersebut bekerja.